Beberapa waktu terakhir tingkat polusi udara di Jakarta dikabarkan semakin memburuk. Polusi udara yang semakin memburuk tidak hanya berdampak buruk bagi kehidupan sosial di jakarta serta “image kota jakarta” yang menjadi sorotan nasional bahkan internasional tetapi yang lebih penting adalah dampaknya yang negatif bagi kesehatan, antara lain; seperti penyakit jantung, stroke, kanker, dan penyakit pernapasan. Polusi udara juga dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi anak-anak, seperti asma dan gangguan pertumbuhan. Betapa seriusnya permasalahan tersebut dan sangat berdampak terhadap kesehatan masyarakat.
Tanpa menutup mata dengan berbagai langkah pemerintah pusat dan Jakarta sendiri dalam mengatasi polusi ini, namun faktanya masalah ini masih belum terselesaikan. Pemerintah perlu melakukan lebih banyak untuk mengurangi emisi polutan dari kendaraan bermotor, bangunan, industri, dan pembakaran sampah. Pemerintah juga perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya polusi udara dan pentingnya menjaga kualitas udara.
Namun, faktor yang menyebabkan polusi udara di Jakarta meningkat signifikan pada hari ini bukanlah dari permasalahan di atas. Penyebab utama kontribusi cemar ternyata adalah industri energi dan manufaktur ke udara DKI Jakarta dan sekitarnya termasuk PLTU, dianggap lebih besar daripada penggunaan transportasi, komersial, dan domestik. Akan tetapi bagaimana penerapan regulasi pemerintah terhadap ini?
Pencemaran Udara dan Regulasi Pemerintah
Pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta, dan sejumlah pemda di sekitar ibu kota dinilai nyaris tidak pernah menyentuh persoalan pencemaran udara dari sektor industri energi dan manufaktur, kata pegiat lingkungan.
“Kami melihat sebabnya karena kepentingan ekonomi dan politik… Intinya pemerintah tidak seberani itu untuk memperketat aturan lingkungan ke perusahaan, akhirnya yang jadi korban masyarakat,” kata Ketua Kampanye Walhi DKI Jakarta, Muhammad Aminullah, Minggu (13/08).
Dilansir oleh BBC News Indonesia, menanggapi pemberitaan yang meluas tentang polusi udara di Jakarta, Presiden Joko Widodo dan jajaran menterinya, menggelar rapat terbatas membahas persoalan itu di kompleks Istana Merdeka, Jakarta, Senin (14/08). Dia menjelaskan, kemarau panjang selama tiga bulan terakhir menyebabkan peningkatan konsentrasi polutan tinggi.
Namun diakui oleh Presiden, polusi itu juga disebabkan “pembuangan emisi dari transportasi dan juga aktivitas industri di Jabodetabek, terutama yang menggunakan batu bara di sektor industri manufaktur.”
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan sektor transportasi menjadi sumber pencemar udara utama di Indonesia. Sehingga pemerintah disebut lebih fokus pada upaya mengendalikan polusi udara di sektor transportasi, walaupun fakta hari ini, polusi di Jakarta kian memburuk.
Bagaimana dampak PLTU terhadap kesehatan?
PLTU dianggap sebagai penyumbang polutan yang besar bagi lingkungan. Hal ini dikarenakan PLTU menghasilkan uap dan limbah yang merusak lingkungan. Uap dari PLTU merusak udara sehingga pernapasan dapat terganggu. Sedangkan limbah hasil PLTU mencemari air yang dapat mengganggu ekosistem perairan sekitar.
Seperti yang ditulis oleh BBC News Indonesia, Minggu (13/08), salah satu warga yang terkena langsung dampak polusi adalah Ag – nama samaran – yang tinggal dekat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Lontar di wilayah utara Kabupaten Tangerang, Banten.
Pria 27 tahun ini berkata keberadaan pembangkit yang diresmikan pada 2009 itu telah mengubah kebiasaan warga. Salah satunya kebiasaan menampung air untuk dipakai mandi hingga kebutuhan konsumsi. Air tampungan itu tak lagi bisa dilakukan lantaran air hujan yang turun ke atap-atap rumah warga menghitam tercampur partikel yang diduga dari dampak aktifitas PLTU.
“Dulu warga termasuk keluarga saya itu sering nadah air dari atap kalau hujan biasanya langsung bisa dikonsumsi, sekarang pada enggak berani karena airnya jadi hitam karena di atap itu banyak debu hitam pekat,” kata Ag.
Milik siapa PLTU dan Siapa Penyuplai Batu Baranya?
Aktifis Isu Polusi dan Perkotaan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Abdul Gofar membeberkan beberapa daftar nama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menjadi penyumbang polusi di ibu kota dan sekitarnya. Gofar menyebut daftar PLTU di sekitar Jakarta itu ialah PLTU Suralaya, PLTU Labuan, PLTU Lontar, PLTU Babelan, PLTU Banten, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTU Jawa 7 Unit 1 dan Unit dan PLTU Lontar 2.
Sebagai contoh, PLTU Suralaya dengan nama Suralaya Power Generation Unit (PGU) berlokasi di ujung barat Pulau Jawa, Provinsi Banten mengelola 7 unit Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang “menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utamanya”. Dengan total kapasitas terpasang sebesar 3400 MW menjadikan Suralaya PGU sebagai unit terbesar di Indonesia yang dimiliki PT Indonesia Power.
PT Indonesia Power sendiri merupakan salah satu anak Perusahaan BUMN PT PLN (Persero) yang didirikan pada tanggal 3 Oktober 1995 dengan nama PT PLN Pembangkitan Jawa Bali I (PT PJB I).
Adapun menurut surat edaran Kementerian ESDM, ada 125 perusahaan dengan kewajiban pasokan batubara 2023, diantaranya 5 besar penyuplai batu bara ke PLTU tersebut adalah:
1. PT Bukit Asam Tbk (PTBA) sebesar 26.750.000 metrik ton
2. PT Kaltim Prima Coal: 13.700.000 metrik ton
3. PT Adaro Tbk (ADRO) sebesar 12.322.000 metrik ton
4. PT Kideco Jaya Agung: 10.550.000 metrik ton
5. PT Arutmin Indonesia: 7.808.000 metrik ton
Penutup
Dapat kita simpulkan bahwa pencemaran udara di Jakarta memiliki dampak serius pada kesehatan manusia dan lingkungan. Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara di sekitar Jakarta diketahui sebagai salah satu penyebab signifikan dari polusi udara. Meskipun pemerintah telah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini, terdapat kebutuhan yang lebih besar untuk mengurangi emisi polutan dari sektor industri energi dan manufaktur. Dampak dari PLTU terhadap kesehatan manusia dan lingkungan juga patut diperhatikan, seperti gangguan pernapasan dan pencemaran air.
Selain itu, regulasi terhadap industri energi dan manufaktur yang menjadi penyumbang utama polusi udara ini dinilai belum memadai. Beberapa faktor seperti pertimbangan ekonomi dan politik tampaknya mempengaruhi ketidakberanian pemerintah untuk memperketat regulasi lingkungan terhadap perusahaan. Keterlibatan pemerintah dalam memastikan penggunaan bahan bakar yang lebih bersih dan teknologi yang lebih ramah lingkungan perlu ditingkatkan.
Penggunaan batu bara dalam PLTU memiliki dampak negatif pada lingkungan, udara, dan kesehatan masyarakat. Selain itu, penyuplai batu bara ke PLTU juga harus diperhatikan dalam upaya mengatasi masalah polusi udara. Upaya kolektif dari pemerintah, industri, dan masyarakat diperlukan untuk mengurangi dampak pencemaran udara dan menjaga kualitas udara yang sehat bagi seluruh warga.
Sudah saatnya kita semua sebagai pemangku kebijakan, dunia usaha, lembaga keuangan dan masyarakat yang memiliki dana untuk berinvestasi, mulai memikirkan dampak buruk yang akan timbul dari setiap rupiah uang yang diputar untuk kegiatan ekonomi. Kita harus mulai mengerti bahwa lingkungan yang kita tempati saat ini yang kita ambil manfaatnya saat ini adalah titipan dari generasi yang akan datang untuk kita jaga keberlanjutannya demi warisan yang baik untuk generasi yang akan datang tersebut.