Menyongsong era pemerintahan baru di Indonesia, terdapat ambisi besar negara untuk mencapai net zero emissions pada 2060. Fokus utama adalah transisi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan serta komitmen pemerintah untuk mengatasi tantangan krisis iklim melalui kebijakan inovatif dan kolaborasi lintas sektor.
Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mencapai net zero emissions pada 2060, atau lebih cepat. Pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024 membuka peluang strategis untuk meninjau kebijakan ekonomi, terutama terkait krisis iklim. Dengan sumber daya alam yang melimpah dan potensi energi terbarukan yang besar, Indonesia berada pada jalur untuk menjadikan keberlanjutan sebagai fondasi pembangunan.
Di tengah tekanan global dan kebutuhan domestik akan pertumbuhan inklusif, ekonomi hijau kini menjadi prioritas strategis. Artikel ini membahas transisi ekonomi hijau Indonesia, komitmen pemerintahan baru, dan rekomendasi langkah-langkah strategis ke depan.
Transisi Ekonomi Hijau Indonesia
Indonesia adalah negara dengan potensi alam yang luar biasa, namun juga kontributor emisi karbon terbesar keenam di dunia. Kontribusi Indonesia setara dengan 701,4 juta ton setara karbon dioksida [1]. Tantangan untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan komitmen terhadap lingkungan menjadi semakin mendesak. Sebagai bagian dari perjanjian internasional, terutama Paris Agreement, Indonesia telah meratifikasi melalui undang-undang No 16 Tahun 2016. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 dengan usaha sendiri, atau hingga 41% dengan dukungan internasional [2].
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah meluncurkan berbagai strategi untuk mendukung transisi menuju ekonomi hijau [3]. Inisiatif utama adalah pembangunan rendah karbon, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk 2020-2024, yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu, kebijakan net zero emission menargetkan bebas emisi pada tahun 2060, dengan sektor penggunaan lahan dan kehutanan mencapai status net sink pada tahun 2030. Pemerintah juga memperkenalkan stimulus hijau yang mencakup insentif untuk mendorong praktik ekonomi ramah lingkungan, menciptakan inovasi, dan investasi dalam teknologi hijau. Langkah konkrit dalam mendukung inisiatif ini antara lain:
- Finance Mechanism: Just Energy Partnership (JETP) Indonesia diluncurkan dalam momentum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November 2022. JETP merupakan skema pendanaan bagi Indonesia untuk meninggalkan energy fosil dan mentransformasi ke teknologi rendah karbon. Nilai komitmen pendanaan untuk Indonesia sekitar Rp300 triliun yang berasal dari negara-negara yang tergabung dalam International Partnership Group (IPG). Melalui pendanaan ini Indonesia akan melakukan pensiun dini terhadap PLTU Cirebon-1 dan PLTU Pelabuhan Ratu pada tahun 2035.
- Policy: Indonesia menerbitkan kerangka kerja nasional untuk penetapan harga karbon pada tahun 2021 dan meluncurkan Sistem Perdagangan Emisi (ETS) wajib untuk sektor energi di tahun 2023, yang secara khusus menargetkan pembangkit listrik tenaga batu bara. Pelaksanaan ETS ini diharapkan dapat mengurangi emisi sebesar 500.000 tCO2e di sektor energi.
- Partnership: Jababeka Industrial Cluster merupakan agenda kemitraan berupa klaster industri net-zero pertama di Indonesia, dengan lebih dari 2.000 perusahaan yang berasal dari 30 negara dengan total area 5,600 hektar. Kluster ini mencakup berbagai perusahaan, termasuk pemain energi dan perusahaan multinasional global. Salah satu tujuan utama dari inisiatif ini adalah meningkatkan efisiensi energi serta mempercepat transisi dari penggunaan bahan bakar fosil ke tenaga surya dan sumber energi terbarukan, guna mendukung keberlanjutan dan mencapai target net-zero emission di masa depan.
Komitmen Ekonomi Hijau di Bawah Pemerintahan Baru
Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menegaskan kelanjutan program transformasi ekonomi hijau, yang menjadi salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Komitmen ini jelas terlihat dalam visi Asta Cita yang diusung pemerintah, dengan fokus pada keberlanjutan dan perlindungan lingkungan. Melalui pendekatan ini, pemerintah berupaya menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, menciptakan sistem ekonomi yang tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga bertanggung jawab secara ekologi.
Salah satu elemen penting dari visi ini adalah 15 janji ekonomi hijau yang dijabarkan secara rinci sebagai berikut:
- Mencegah dan menindak tegas pelaku pencemaran, perusakan lingkungan, dan pembakaran hutan.
- Melindungi keanekaragaman hayati flora dan fauna berdasarkan kearifan lokal sebagai bagian dari aset bangsa.
- Menindak tegas praktik pertambangan yang merusak lingkungan dan mendorong upaya restorasi, rehabilitasi, dan pemulihan lingkungan terdegradasi untuk mengembalikan fungsi ekologis lahan produktif.
- Memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pemilik perusahaan yang terlibat dalam pembalakan liar, kebakaran hutan, dan pembunuhan hewan langka yang dilindungi.
- Mengkampanyekan budaya ramah lingkungan seperti mengganti penggunaan kantong plastik dengan bahan yang ramah lingkungan dan bisa didaur ulang.
- Meningkatkan perlindungan satwa dan tumbuhan langka, endemik, dan terancam punah melalui penghentian perdagangan satwa liar dan tumbuhan langka, upaya konservasi dan perlindungan genetik, habitat, serta ekosistemnya.
- Meningkatkan anggaran untuk memperkuat riset dan kompetensi peneliti di bidang pelestarian satwa/tumbuhan liar, langka, dan terancam punah.
- Mencegah deforestasi melalui pemanfaatan areal kurang produktif/lahan terdegradasi dan meningkatkan peran serta multipihak dalam pengawasan potensi kebakaran dan perambahan hutan.
- Menerapkan standar pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan melalui sistem sertifikasi produk yang dihasilkan dari praktik pengelolaan sumber daya ramah lingkungan.
- Akselerasi rencana dekarbonisasi untuk mencapai target net zero emission.
- Mengembangkan ekosistem yang terus mengakselerasi pemanfaatan dan pengembangan sumber daya alam yang berkaitan dengan carbon sink dan carbon offset untuk mengakselerasi target net zero emission dan memanfaatkan kesempatan dari ekonomi hijau
- Melanjutkan program mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (coal-fired power plant retirement) dengan berdasarkan pada asas keadilan dan keberimbangan.
- Melanjutkan program biodiesel dan bio-avtur dari kelapa sawit.
- Mengembangkan bioetanol dari singkong dan tebu, sekaligus menuju kemandirian komoditas gula.
- Mengembangkan sumber energi hijau alternatif, terutama energi air, angin, matahari, dan panas bumi.
Komitmen di atas mencerminkan keinginan kuat pemerintah untuk menjadikan ekonomi hijau sebagai landasan pertumbuhan ekonomi masa depan. Jika melihat Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2025, transformasi ekonomi hijau telah dimasukkan sebagai bagian dari strategi jangka menengah yang diarahkan pada pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan. Dalam kerangka ini, kebijakan jangka menengah akan fokus pada optimalisasi berbagai dukungan fiskal untuk kegiatan yang mendukung pencapaian pembangunan ekonomi hijau, termasuk penerapan teknologi rendah karbon dan perlindungan terhadap sumber daya alam. Pemerintah juga berkomitmen untuk melibatkan sektor swasta dan masyarakat luas dalam setiap tahapan transformasi ini, memastikan bahwa pencapaian ekonomi hijau dapat terlaksana dengan adil dan berimbang.
Rekomendasi untuk Strategi Ekonomi Hijau Indonesia
Dalam mempercepat transisi menuju ekonomi hijau yang inklusif dan berkelanjutan, ada beberapa rekomendasi strategis yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan:
Kolaborasi dalam Pendanaan
Pemerintah perlu segera mendorong reformasi kebijakan yang memfasilitasi partisipasi aktif sektor swasta dalam investasi hijau. Reformasi ini tidak hanya perlu memberikan insentif bagi perusahaan untuk terlibat dalam proyek berkelanjutan, tetapi juga memastikan adanya landasan hukum yang kuat untuk instrumen pembiayaan inovatif seperti green sukuk. Green sukuk, yang dirancang khusus untuk mendukung ekonomi hijau, dapat memfasilitasi pembangunan infrastruktur ramah lingkungan, energi terbarukan, serta pengelolaan limbah, di mana pembiayaan tradisional sering kali kurang memadai
Lebih lanjut, inovasi ini akan menjadi lebih signifikan jika dikombinasikan dengan keuangan sosial Islam. Zakat, infaq, sadaqah, dan waqf memiliki peran yang sangat besar dalam mendukung pembangunan sosial, dan dengan potensi penghimpunan dana mencapai 327 triliun per tahun dari zakat serta 180 triliun dari waqf, ada peluang besar untuk mendanai proyek-proyek hijau dan berkelanjutan. Sayangnya, saat ini baru sekitar 10% dari potensi zakat yang berhasil dihimpun dan kurang dari 1% dari potensi waqf yang terealisasi [3]. Data ini menunjukkan bahwa ada ruang yang sangat besar untuk mengoptimalkan kontribusi keuangan sosial Islam.
Untuk mengoptimalkan penghimpunan dana ini, diperlukan strategi transformasi tata kelola yang lebih baik di lembaga-lembaga filantropi, termasuk penguatan kapasitas manajemen risiko, transparansi, dan akuntabilitas. Transformasi digital juga menjadi salah satu kunci utama dalam memaksimalkan penghimpunan dan distribusi dana. Dengan menerapkan teknologi seperti blockchain untuk memastikan transparansi dan efisiensi, serta memanfaatkan platform digital yang dapat menjangkau donatur yang lebih luas, lembaga filantropi dapat meningkatkan kepercayaan publik dan partisipasi masyarakat.
Lebih jauh, integrasi antara green sukuk dan keuangan sosial Islam tidak hanya dapat memperkuat infrastruktur pembiayaan hijau tetapi juga meningkatkan dampak sosial. Dana yang dihimpun tidak hanya diarahkan untuk proyek-proyek lingkungan tetapi juga dapat digunakan untuk mendukung inisiatif yang berfokus pada penciptaan lapangan kerja, peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin, serta pengurangan ketimpangan sosial. Dalam jangka panjang, sinkronisasi antara kebijakan, teknologi, dan keuangan sosial Islam akan membuka peluang yang lebih besar untuk menciptakan ekonomi berkelanjutan yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah, sekaligus memperkuat dampak sosial positif yang dihasilkan.
Peningkatan Carbon Pricing
Untuk mendorong pengurangan emisi secara efektif dan memperkuat komitmen terhadap perubahan iklim, pemerintah harus mengambil langkah strategis dalam memperkuat mekanisme penetapan harga karbon. Salah satu pendekatan yang perlu diprioritaskan adalah revisi Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik Jangka Panjang (Power Purchase Agreement/PPA). Dalam revisi ini, pemerintah harus memastikan bahwa klausul dalam PPA tidak hanya mencakup aspek komersial, tetapi juga mempertimbangkan pembatasan penyaluran biaya karbon kepada konsumen. Dengan demikian, produsen energi akan lebih termotivasi untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih tanpa harus membebankan tambahan biaya kepada masyarakat, sekaligus menjaga stabilitas harga energi.
Langkah lain yang krusial adalah memperluas cakupan Sistem Perdagangan Emisi (Emission Trading System/ETS). Saat ini, ETS di Indonesia masihr berfokus pada sektor energi, namun untuk mencapai pengurangan emisi yang lebih luas dan signifikan, cakupan ETS perlu diperluas ke sektor-sektor lainnya, seperti industri manufaktur, transportasi, dan pertanian. Dengan melibatkan lebih banyak sektor dalam sistem perdagangan ini, Indonesia dapat mengoptimalkan upaya pengurangan emisi lintas industri, sekaligus menciptakan pasar yang lebih dinamis dan kompetitif.
Selain itu, pengakuan dan integrasi sertifikasi karbon internasional ke dalam kerangka kerja nasional akan memperluas pasar karbon domestik. Dengan mengakui sertifikasi karbon dari standar internasional seperti Verra atau Gold Standard, Indonesia dapat menarik minat investasi asing dan memperbesar partisipasi dalam perdagangan karbon global. Ini tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan terhadap kredibilitas pasar karbon domestik, tetapi juga memberikan akses yang lebih luas bagi pelaku industri untuk menjual kredit karbon mereka di pasar internasional yang lebih matang.
Menciptakan Lingkungan Kompetitif
Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya nikel, yang merupakan komponen penting dalam rantai nilai baterai kendaraan listrik (EV). Sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia harus mengoptimalkan posisinya dengan mengembangkan industri baterai yang kuat dan terintegrasi, untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik yang sedang tumbuh secara global. Insentif pembelian kendaraan listrik yang sudah dilakukan diharapkan terus dilanjutkan untuk memicu permintaan EV. Hal ini akan mendorong pertumbuhan industri EV dalam negeri dan membuka peluang untuk menjadi pemain kunci dalam revolusi energi bersih.
Selain itu, industri-industri yang berorientasi ekspor perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan kebijakan internasional, seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang diterapkan oleh Uni Eropa. CBAM akan mengharuskan produk-produk yang diimpor ke Uni Eropa untuk memenuhi standar rendah emisi karbon, sehingga potensi penerapan pajak karbon bagi produk yang tidak mematuhi standar ini dapat berdampak langsung pada daya saing produk ekspor Indonesia.
Untuk itu, adopsi praktik-praktik industri rendah karbon menjadi langkah strategis yang tidak dapat diabaikan. Perusahaan-perusahaan di sektor nikel, baterai, dan industri lainnya harus mulai bertransformasi menuju teknologi yang lebih ramah lingkungan. Investasi dalam energi terbarukan, efisiensi energi, dan inovasi proses produksi yang rendah emisi akan memberikan keunggulan kompetitif, sekaligus memastikan bahwa produk-produk Indonesia tetap diterima di pasar-pasar ekspor utama seperti Uni Eropa. Dengan demikian, mengadopsi strategi rendah karbon akan memastikan bahwa produk Indonesia tidak hanya kompetitif secara harga tetapi juga sesuai dengan regulasi internasional yang semakin menuntut keberlanjutan.
Dengan fokus pada kebijakan ini, Indonesia dapat memastikan bahwa transisi ekonomi hijau tidak hanya berjalan sesuai dengan target net zero emission tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif bagi masyarakat luas.
Referensi:
- https://www.energyinst.org/statistical-review
- [https://www.bain.com/insights/southeast-asias-green-economy-2024/
- https://www.bain.com/insights/southeast-asias-green-economy-2024/
- https://www.bwi.go.id/9347/2024/02/19/cash-waqf-linked-deposit-cwld/
AUTHOR(S)
Ganjar Primambudi adalah peneliti di ibantu.co, dengan fokus pada persimpangan Ekonomi Islam dan Keuangan Berkelanjutan.