Digitalisasi adalah bagian terpenting dari perkembangan Teknologi pada fase implementasi. Yang menghendaki setiap aktivitas ekonomi, sosial, politik bahkan pertahanan keamanan terintegrasi dengan teknologi digital. Frasa ini kemudian menemukan relevansinya ketika Pandemic-Covid-19 menerpa hamper seluruh belahan dunia, sehingga memaksa Negara-negara yang terdampak untuk mempercepat proses digitalisasi di setiap sektor kehidupan guna mengantisipasi kelumpuhan setiap sektor kehidupan yang di maksud jika terjadi Wabah serupa di masa mendatang karena kegagalan penerapan digitalisasi. Digitalisasi adalah Disruption, dan keberadaannya telah membentuk sebuah tatanan baru, telah membentu nilai baru dan bahkan mampu memaksa setiap Negara termasuk Indonesia mengatur ulang Visi dan Misi bernegara di masa mendatang.
Sebetulnya dalam satu tidak hanya di picu saat wabah pandemic terakhir. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam kemajuan transformasi digital. Bahkan dalam Visi Indonesia Digital 2045[1] dengan sangat ambisius Indonesia menetapkan diri sebagai Negara maju dengan penerapan teknologi global dan mengedepankan keberlanjutan lingkungan.
Akan tetapi permasalahan infrastruktur digital yang belum merata, konektivitas yang kurang stabil, dan pelambatan penetrasi jaringan next-generation masih menjadi isu utama dalam transformasi digital nasional. Selain itu, pada sisi ekosistem digital, kurangnya inovasi digital dan dominasi global tech-giants menyebabkan Indonesia masih berada pada level konsumen teknologi. Situasi menjadi lebih sulit karena sinkronisasi pembangunan infrastruktur dan ekosistem digital dari pusat hingga ke daerah berjalan kurang efektif. Pembangunan Infrastruktur ini yang menjadi concern Negara dalam fase awal penguatan fondasi digital di Indonesia 2025-2029.
Tantangan dan Peluang Sosioteknis
Selain tantangan Infrastruktur pada fase penguatan digitalisasi di Indonesia. Satu lagi yang mengemuka adalah persoalan Sosio teknis akibat persinggungan antara teknologi dengan manusia sebagai makhluk sosial. Dinamika sosioteknis ini kemudian dapa di pahami sebagai sebuah interaksi secara aktif antara manusia dengan teknologi aktif. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Stiegler (1998)[2] yang menyatakan tentang “original technicity”: manusia tidak bisa bebas dari perkembangan teknologi. Dinamika aktif antara teknologi dan manusia terjadi karena perkembangan teknologi terjadi pada ruang lingkup kolektif manusia yang terdiri dari banyak aktor, memiliki rantai kausalitas yang panjang dan kompleks (sosial, budaya, ekonomi, politik, etika), dan menghasilkan efek yang tidak selalu mudah untuk diprediksi.
Lebih jauh untuk konteks Indonesia. Dinamika sosioteknis ini kemudian melahirkan peluang dan tantangan tertentu. Pada tahap ini,setelah peluang dan tantangan dapat diidentifikasi, diperlukan pembentukan langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk mengoptimalkan peluang dan memitigasi tantangan perkembangan proses digitalisasi tersebut.
Persoalan Praktis
Lebih jauh lagi pembicaraan mengenai digitalisasi kemudian akan mengarah kepada perkembangan dan inovasi teknologi-teknologi baru dalam konteks Revolusi Industri ke-4, yang nantinya akan menjadi bagian yang tidak terpisah antara digitalisasi dan kontekstualisasi atau implementasi digital itu sendiri. Setidaknya penulis mencatat ada empat trend teknologi utama yang mengiringi pengembangan digitalisasi di Indonesia. Antara lain big data, kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI), blockchain, dan teknologi finansial (tekfin).
Untuk memahami berbagai fenomena teknologi ‘baru’ yang ada saat ini, penting untuk memahamiinteraksi (peluang dan tantangan) antara teknologi-teknologi tersebut dengan manusia. Sebagaicontoh, tekfin memang telah mampu membantu masyarakat yang tinggal di area terpencil untukmemperoleh kemudahan akses finansial. Akan tetapi, apakah penggunaannya sudah terbebas dari risiko pencucian uang? Hal serupa juga dapat kita temukan pada kecerdasan buatan dan big data.
Apakah kita, manusia, yang sesungguhnya adalah pencipta teknologi harus bertekuk lutut pada mesin? Meminjam istilah Guston et al. (2014)[1], apakah kecerdasan buatan akan membalikkan nasibmanusia: dari manusia adalah pengguna teknologi menjadi teknologi adalah pengguna manusia? Pertanyaan kritis semacam ini juga muncul pada penerapan blockchain yang meskipun telah secaradramatis mengubah transaksi menjadi jauh lebih demokratis, terdapat potensi risiko penyalah gunaan privasi. Oleh karena itu untuk lebih memahami peluang dan tantangan teknologi ini, penting bagi kita untuk memahami dinamika antara manusia dengan keempat teknologi tersebut.
Meskipun teknologi tersebut telah berkembang sangat cepat dan banyak di aplikasikan di kehidupan sehari-hari masyarakat, Indonesia dinilai mempunyai dua tantangan utama. Pertama, Indonesia dinilai belum mampu memanfaatkan potensi teknologi-teknologi baru ini secara maksimal. Sebagai contoh, infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang menjadi basis teknologi tersebut belum secara merata tersedia di seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, penggunaan blockchain masih terfokus pada aplikasi transaksi finansial. Padahal, potensi blockchain bisa untuk membantu sektor lain di Indonesia yang masih tertinggal, seperti pertanian dan perpajakan. Persoalan praktis kedua yang dihadapi Indonesia adalah belum ter mitigasinya risiko penggunaan teknologi baru ini dengan tepat. Isu-isu krusial seperti tidak adanya peraturan mengenai pengelolaan data pribadi dan riwayat transaksi pengguna teknologi masih hangat terdengar di berbagai diskusi. Mitigasi risiko juga dinilai masih mengedepankan aspek korektif dibanding preventif.
Halalisasi dan Knowledge Gap
Adanya tantangan penerapan teknologi baru dalam transformasi digital dan proses digitalisasi di Indonesia membuat pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang mampu mengoptimalkan potensi teknologi dan secara bersamaan memitigasi risiko penggunaan teknologi. Akan tetapi, di Indonesia, hingga saat ini, belum ada regulasi yang secara lugas menjadi landasan untuk praktek penggunaan teknologi-teknologi tersebut. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan teknologi-teknologi ini berkembang dan berkonvergensi dengan cepat, tetapi tanpa pengawasan dan perlindungan yang memadai akan pengoperasiannya.
Di tengah kecepata perkembangan teknologi dan transformasi digital dan celah kosong antara proses socio teknis dan digitalisasi serta ketiadaan regulasi yang di keluarkan pemerintah, kemudian muncul istilah baru yang belakangan juga Booming menimpali kecepatan digitalisasi di Indonesia. Yaitu Halalisasi. Term ini sebagai jawaban atas ambisi Indonesia menjadi Global Halal Hub dan menargetkan (awal) di tahun 2019 seluruh produk yang masuk di Indonesia harus mengantongi Sertifikat Halal. Oleh karenanya kemudian pemerintah meengeluarkan UU No 33 Tahun 2014[1] tentang jaminan Produk Halal dan membentu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang di harapkan sebagai Katalisator visi Ambisius ini.
Lantas apakah ada keberhasilan dalam mengisi Celah Kosong yang kami sebut sebagai Knowledge Gap antara Socia teknis dan Proses Digitalisasi serta ketiadaan regulasi teknologi ini dengan keputusan strategis di atas. Barangkali secara Dejure, yang artinya program itu berjalan, ada regulasi dan ada lembaganya itu berhasil, tetapi fakta di lapangan memberikan jawaban.
Salah satu yang paling fenomenal adalah kasus beberapa produk Non Halal: Bir, Wine dan sebagainya yang mendapatkan sertifikasi Halal serta tidak tercapainya target seluruh produk yang masuk dan beredar di Indonesia harus sudah bersertifikat Halal di Tahun 2019 adalah bukti bahwasanya Knowledge Gap itu belum terpenuhi. Dari sisi pengetahuan tentang penggunaan teknologi yang tepat dan kemampuan menggunakan teknologi yang tepat dari ke empat produk teknologi baru di atas dalam rangka mengawal proses digitalisasi industry Halal di Indonesia.
Lantas mengapa simple mengatakan ini soal penggunaan teknologi yang tepat? Karena dua kasus yang terjadi juga simple soal Ketepatan dan Kecepatan (Speed and Accuracy) yang nota bene adalah ranahnya teknologi dalam kaidah digitalisasi. Belum lagi kita berbicara kemanfaatan dari segi transparency dan
tepat guna (Transparancy and Eficiency). Pada Tulisan di atas salah satu Teknologi baru yang belum di optimalkan pemanfaatannya adalah Blockchain.
Maka mengisi Knowledge Gap dengan pemanfataan teknologi yang tepat guna serta kemudian di sokong dengan regulasi yang baik maka akan membuat digitalisasi dan Halalisasi menjadi dua kombinasi yang sangat Krusial dalam konteks Sosio-Teknis atau interaksi kemanfaatan Hubungan Teknologi dengan Kebutuhan Sosial dan pada akhirnya akan mendorong percepatan kemajuan di Indonesia.
Mau tahu cara apa dan bagaimana Teknologi tepat guna yang bisa mengawal kombinasi menarik ini? Hubungi iBantu
Referensi:
[1] https://digital2045.id/
[2] The Theory of Originary Technicity in Bernard Stiegler’s Philosophy
[3]https://www.frontiersin.org/journals/artificialintelligence/articles/10.3389/frai.2023.976887/full
[4] https://kemenag.go.id/opini/negara-dan-sertifikasi-halal-indonesia-cfxy63